Sebagai guru kita pasti sering
bertanya kepada siswa kita, baik di kelas maupun diluar kelas, substantif
terhadap pembelajaran ataupun tidak. Kita setiap hari pasti menanyakan kabar
siswa kita ketika membuka pembelajaran, sudahkah membuat PR yang diberikan?
Atau sekedar basa-basi agar komunikasi dengan siswa berjalan lancar sehingga
kita sebagai guru dapat dikenal oleh siswa kita. Jika kita agak jutek (istilah mereka), siswa cenderung
malas atau menghindar ketika bertemu dengan kita. Pertanyaan juga menjadi
penghubung ketika kita ingin mengetahui kondisi siswa kita.
Di
dalam kelas sudah barang tentu kita sering melontarkan pertanyaan yang sifatnya
subtantif pada materi pembelajaran. Dari yang paling sederhana misalnya
mengingatkan kembali materi pertemuan sebelumnya hingga pertanyaan yang
sifatnya memerlukan pemikiran kritis siswa. Nah, yang bagian kedua ini membuat
saya sering menghela nafas karena sebagian besar siswa saya terkadang
mematung.. fiuuh…. Perlu kesabaran memang mengarahkan mereka sesuai apa yang
kita inginkan. Ini salah satu alasan juga kenapa kecepatan pembelajaran menjadi
lambat, sebab kita harus mengingatkn kembali konsep-konsep yang digunakan untuk
menjawab pertanyaan kita. Kadang-kadang saya secara tidak sadar membuat
pernyataan yang agak menyindir “Anak-anak bapak hari ini mengajar anak kelas 4
SD lho…”. Beragam ekspresi saya lihat ketika saya melontarkan sindiran itu dari
yang bermuka masam sampai yang tersenyum kecil (entah malu atau mereka ikut
menyindir juga). Itu semua adalah bumbu-bumbu setiap pembelajaran di kelas yang
saya yakin akan selalu mereka ingat.
Membuat
pertanyaan efektif memang tidak begitu sulit kelihatannya ketika kita
menggunakan rambu-rambu yang diberikan, baik pantangan ataupun anjurannya. Namun
perlu diingat bahwa kondisi siswa kita mungkin saja berbeda-beda latar
belakangnya. Pernah ketika saya membelajarkan materi Aritmetika Sosial saya
memberikan permasalahan kepada mereka tentang kegiatan pembelian barang di
sebuah toko dengan melibatkan istilah diskon. Tidak satupun siswa di kelas saya
mampu menjawabnya padahal sangat sederhana sekali. Saya berpikir apa yang
membuat mereka sampai terbengong-bengong. Usut punya usut ternyata mereka tidak
mengenal istilah diskon. Saya baru paham mereka anak-anak yang tinggal didaerah
terpencil yang lebih sering melakukan belanja tunai tanpa diskon. Sayapun
menjelaskan kembali istilah itu yang pada akhirnya secara tidak sadar menjawab
sendiri pertanyaan yang saya ajukan. Sambil merenung dan tersenyum dalam hati
saya menggumam “pertanyaan yang malang”.
0 komentar: