Jumat, 18 September 2020

Kelas Maya Berbayar, Kesalahan Pembelajaran di Kelas Nyata?

 Diposting ulang dari kompasiana (5 Pebruari 2019)

Pertanyaan itu sering mengganggu saya sebagai guru. Apakah kita sudah melupakan esensi sebenarnya sebagai seorang pendidik?

Belajar adalah suatu proses yang tidak pernah berhenti, bagaikan petualangan hidup ketika kita menikmatinya. Belajar tidak hanya sebatas membaca buku sebanyak-banyaknya tetapi bagaimana kita bisa mencari makna yang terkandung dalam bacaan tersebut. Belajar bisa lebih dalam dari itu semua.

Dewasa ini belajar tidak lagi dibatasi oleh sekat-sekat bernama kelas dan sekolah. Belajar bisa dimana saja, terlebih lagi dengan perkembangan teknologi yang sedemikian pesatnya.

Para pembelajar tidaklah sulit mencari referensi-referensi yang berkaitan dengan topik belajarnya (asalkan ada kemauan). Peluang ini juga sudah dibaca oleh beberapa perusahaan yang bergerak dibidang teknologi informasi untuk membuat kelas-kelas maya sehingga membuat belajar tidak terbatas oleh ruang dan waktu.

Perusahaan-perusahaan yang bergerak dalam bidang jasa ini tampaknya menjadi bisnis yang cukup menggiurkan terbukti dengan semakin tumbuhnya pengguna layanan ini yang notabene berasal dari siswa sekolah.

Kelas maya yang diikuti oleh para siswa memiliki konten-konten yang menarik sehingga lebih memudahkan para siswa untuk memahami topik yang dipelajarinya.

Video pembelajaran yang merupakan sarana utama dari kelas maya ini tentunya sangat mendukung kecepatan siswa meningkatkan pemahaman konsepnya karena mereka bisa mengulang bagian-bagian yang tidak dipahaminya tanpa ada batasan-batasan tertentu.

Semakin kaya konten yang disediakan semakin mahal pula biaya yang harus dikeluarkannya. Pada akhirnya siswa akan menjadi ketergantungan terhadap model belajar seperti ini.

Kondisi di atas tidak lepas dari fenomena yang terjadi pada pembelajaran di kelas-kelas nyata. Ini artinya sebagian besar kelas-kelas nyata sangatlah "kering" akan inovasi pembelajaran. Siswa di dalam kelas lebih banyak mendapatkan doktrin tanpa proses eksplorasi dari pengetahuan itu. Tidaklah salah apabila siswa-siswa kita cenderung menjadi jenuh dengan apa yang mereka dapatkan di dalam kelas nyatanya.

Pemerintah sudah berupaya dengan terus menyempurnakan kurikulum untuk meningkatkan kualitas pembelajaran di kelas. Saya berpikir ada hal yang terlupakan dari langkah-langkah yang dilakukan yaitu berkaitan dengan kualitas para pendidik kita.

Sehebat apapun kurikulum yang diterapkan, ia hanya akan menjadi sebuah dokumen yang statis tanpa dibarengi oleh kompetensi yang dimiliki oleh para pendidik. Kompetensi ini menjadi kata kunci dari "keringnya" inovasi pembelajaran di dalam kelas.

Program sertifikasi guru yang sudah berjalan lebih dari sepuluh tahunpun belum memberikan dampak yang signifikan terhadap peningkatan kompetensi meskipun sudah meningkatkan tingkat penghasilan para pendidik.

Dalam laporan penelitian Bank Dunia tahun 2017 mengenai program sertifikasi guru yang berjudul "Double For Nothing" menjadi cerminan kualitas sebagian besar pendidik yang telah tersertifikasi dimana dengan gaji 2 kali lipat tetapi tidak memberikan kontribusi yang signifikan untuk kemajuan pendidikan.

Jika ditelaah lagi kondisi ini tidak lepas dari beban kerja para pendidik yang telah tersertifikasi (sepertinya) cukup berat. Dari wawancara dengan beberapa pendidik, mereka mengatakan sehari harus mengajar rata-rata 6 sampai 7 jam bahkan ada yang 8 jam dengan jumlah kelas yang cukup banyak juga. Belum lagi beban administrasi yang selalu mengintai dan terkadang memberatkan sebagian pendidik.

Hal ini harus menjadi perhatian bagi pengambil kebijakan bahwa proses seorang pendidikan tidak hanya di dalam kelas, tetapi diluar itu ia perlu mempersiapkan pembelajaran serta mengevaluasi pembelajaran yang dilaksanakannya.

Inovasi pembelajaran dikelas memerlukan tenaga dan pikiran yang tidak sedikit baik persiapan maupun pelaksanaannya serta pasca inovasi yang dilakukan. Dengan pola yang sudah ada seperti sekarang ini tentunya kita tidak mungkin berharap banyak pada peningkatan kualitas pembelajaran di kelas.

Kita tentunya berharap ada sebuah kebijakan yang sangat mendukung pendidik agar bisa fokus berinovasi serta melakukan riset-riset kecil terhadap apa yang telah dilakukannya. Ruang-ruang ini tentunya harus didukung oleh regulasi yang tepat sehingga pendidik benar-benar melakukan profesinya dengan sepenuh hati.

Para pendidik kedepannya harus mampu menjawab tantangan jaman sehingga tidak terpaku pada sistem pendidikan yang sudah bertahan puluhan tahun. Pendidik kedepannya harus mampu menjadi seorang youtuber ataupun vloger yang mampu menampilkan inovasi-inovasi pembelajarannya sehingga bermanfaat untuk anak didinya.

Besar harapan saya nantinya pendidik kita kedepannya telah mampu menguasai teknologi untuk mempermudah proses transfer ilmu pengetahuan ke siswa-siswanya. Kita juga akan lihat bagaimana para pendidik sudah mahir membuat video-video pembelajaran dengan notebook touchscreennya.

Para pendidik juga akan terbiasa untuk melakukan riset yang sifatnya reflektif maupun pengembangan suatu pembelajaran. Ketika hal ini sudah menjadi budaya maka saya yakin, ada secercah harapan untuk pendidikan kita kedepannya. Pada akhirnnya tidak ada lagi laporan Bank Dunia yang meragukan integritas pendidik kita.

Previous Post
Next Post

Saya Putu Agus Eka Mastika Yasa adalah guru matematika di SMP Negeri 2 Sukasada. Blog ini akan saya gunakan sebagai media untuk berbagi informasi-informasi penting seputar dunia pendidikan khususnya pendidikan matematika.

0 komentar: